Sabtu, 07 Juli 2012

Kurikulum SD yang Lebih Berorientasi pada Nilai


Dapat kita saksikan akhir- akhir ini marak adanya tempat les baik umum maupun privat, namun yang mengherankan tempat les ini khusus untuk anak Sekolah Dasar. Fenomena ini bisa dilihat dari aspek ekonomi tentang peluang lapangan kerja. Namun yang lebih mendominasi bisa kita dilihat dari aspek pendidikan, kita bisa melihat bahwa materi pelajaran untuk anak usia Sekolah Dasar semakin sulit sehingga keadaan siswa menjadi labil banyak siswa yang tidak percaya diri dengan kemampuannya untuk menyelesaikan ujian baik kenaikan kelas ataupun ujian nasional karena materi pelajaran yang menyulitkan siswa sehingga membuat mereka tidak percaya diri dengan kemampuan dasar yang dimiliki. Dengan rasa percaya diri yang rendah ini tentunya motivasi siswa untuk belajar pun menjadi menurun karena dipenuhi rasa takut dan was- was sehingga belajarpun semata- mata hanya untuk mengejar target, yaitu nilai. Dengan nilai yang tinggi menjadi tolak ukur tunggal keberhasilan siswa. Namun dari sudut pandang yang berbeda lagi, les untuk anak SD ini hanya sebagai belajar tambahan biasa agar pengetahuan anak bertambah atau sekedar mengisi waktu luang daripada bermain lebih baik belajar karena di tempat les pembelajaran lebih menarik dari sekolah. Untuk menanggapi argumen tersebut kita bisa lihat fenomena sekarang bahwa anak mengikuti les ketika ujian sekolah akan tiba baik kenaikan kelas maupun ujian kelulusan dan target yang ingin dicapai dalam mengikuti les agar mendapatkan nilai tinggi sehingga bisa naik kelas ataupun lulus ujian sekolah. Untuk itu anak mengikuti les tidak hanya untuk tambahan belajar tapi lebih banyak untuk mengejar target bisa naik kelas atau lulus sekolah dengan nilai yang tinggi sehingga bisa masuk sekolah menengah yang favorit.
Fenomena tersebut hanya salah satu contoh yang menjadikan kita berfikir lagi bagaimana sistem pendidikan di Indonesia kenapa tujuan dalam pendidikan belum tercapai hingga saat ini, tujuan pendidikan yang menjadikan generasi muda yang cerdas, berpengetahuan, berkepribadian, berakhlak mulia, dll akankah selamanya hanya menjadi PR untuk guru- guru disepanjang jaman? Bila kita kaji kurikulum SD saat ini terdapat banyak kegagalan yang telah dirumusan dari tujuan semula, apakah ini mal praktek dari guru yang mengajar di kelas atau dari siswa di Indonesia sendiri yang memang memiliki potensi IQ rendah. Namun hukum alam selalu menunjukkan bahwa dimana pun di muka bumi ini, yang memiliki potensi akademik tinggi (IQ di atas 120) tidak lebih dari 10% penduduk dan sisanya memiliki kecerdasan bukan pada dimensi akademik, seperti musisi, artis, dll. Namun yang terjadi di Indonesia sisem pendidikan yang ada lebih mendukung potensi akademik atau 10% penduduk saja sehingga output dari pendidikan Indonesia pun kualitasnya masih rendah, mengkaji lebih dalam lagi dari sistem pendidikan ada kurikulum sebagai acuan tingkat pendidikan (Sekolah Dasar) untuk melakukan proses pembelajaran, di dalam kenyataan lapangan yang ada siswa dinyatakan seorang bodoh jika tidak bisa mengerjakan soal matematika atau pelajaran lainnya pada aspek kognitif padahal siswa tersebut sebenarnya seorang anak cerdas di dalam bidang musik namun karena pada kurikulum sekolah dasar tidak menyediakan wadah untuk bakat musik/ yang lainnya lebih mendalam lagi maka yang terjadi dia tidak dapat mengembangkan bakatnya dan menjadi seorang bodoh. Padahal kemampuan anak berbeda- beda dan setiap kemampuan anak mampu dan berguna untuk kemajuan negara tapi dari negara sendiri sedimikian rupa menerapkan sistem pendidikannya dan menyusun kurikulum yang malah bertolak belakang dengan tingkat perkembangan peserta didiknya dan menganggap dunia pendidikan sebagai “momok” bukan tempat dan lahan yang menyenangkan, karena bagi kehidupan anak usia SD yang lebih menyenangkan adalah bermain.
Dengan adanya UN saja kita dapat mengetahui betapa nilai adalah nomor satu dari tujuan pendidikan, karena lulus tidaknya siswa dalam belajar 6 tahun juga ditentukan dari nilai UN. Apakah ini yang nantinya akan menambah kualitas output kita? Atau apakah akan semakin memberatkan siswa SD juga beban bagi guru SD?
Dikaji dari alokasi waktu mata pelajaran saja, pada kurikulum SD untuk mata pelajaran seperti IPA, matematika, dan bahasa menempati urutan tertinggi, tampak sekali yang diutamakan dan tujuan dari kurikulum untuk mencerdaskan kognitif siswa saja tidak untuk membentuk siswa yang terampil pada bidangnya masing- masing, belajar di sekolah hanya mengejar nilai tertinggi pada bidang itu agar di cap sebagai anak pintar.
Kurikulum yang disusun hingga sedimikian rupa sulitnya, mata pelajaran yang ada sebenarnya hanya mampu diikuti oleh 10% siswa SD yang akademik tinggi saja dan sisanya yang memiliki kemampuan non akademis harus berlari ngos- ngosan mengikuti aturan main yang ada sehingga yang tidak mampu mengikuti tersebut yang notabene 90% dari seluruh penduduk di Indonesia harus memaksakan kemampuannya dan yang tidak kuat akhirnya putus sekolah bahkan bisa stress.
Karena menganggap pendidikan beserta isinya pelajaran- pelajaran yang guru berikan di SD itu sulit maka siswa mengalami suatu krisis percaya diri, padahal di usia anak SD rasa percaya diri harus dikembangkan agar anak memiliki motivasi dalam melakukan kegiatan, jika anak sudah tidak ada motivasi dalam belajarnya bahkan tidak suka belajar maka yang ada segala sesuatu yang mereka lakukan adalah keterpaksaan dan dengan keterpaksaan hasil yang diperoleh generasi masa depan kita ini tidak maksimal. Memang anak usia SD tampak pintar juara 1 olimpiade matematika tingkat nasional namun untuk tingkat selanjutnya akan mengalami penurunan karena siswa SD untuk pelajaran matematika seharusnya hanya untuk pengenalan saja belum terlalu kompleks namun untuk alih- alih menyandang gelar juara dipaksakan sekali anak SD harus menguasai matematika dan hasilnya pun nol besar, belum tentu anak yang pandai ini berkarakter baik, bersikap sopan dan tidak korupsi ketika beranjak dewasa.
Oleh karena itu, sistem pendidikan kita yang telah melenceng harus segera di luruskan, dengan hal itu kurikulum yang ada bisa tepat guna pada sasaran, yaitu siswa. Sehingga tidak hanya menyalahkan guru saja yang dianggap mal praktek dalam mengajar karena dalam kenyataan guru juga berusaha sebaik mungkin mendidik siswanya,. Karena sistem yang ada itu objeknya hanya siswa, dan guru hanya sebagai media jadi kalau sudah tidak sesuai dengan karakteristik/ dasar siswa sebaiknya segera dibenahi karena kalau tetap saja diterapkan meskipun menggunakan berbagai perubahan kurikulum hasilnya akan tidak jauh beda dengan kurikulum sebelumnya. Kalau kelamaan diterapkan akan terjadi akumulasi kegagalan kurikulum yang tidak lain imbasnya pada output nantinya.

Lila Argawati Septiarum, 2009 (dimuat di majalah Dikpora DIY "CANDRA" edisi 4 Thn XLII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar