Dapat
kita saksikan akhir- akhir ini marak adanya tempat les baik umum maupun
privat, namun yang mengherankan tempat les ini khusus untuk anak Sekolah Dasar.
Fenomena ini bisa dilihat dari aspek ekonomi tentang peluang lapangan kerja.
Namun yang lebih mendominasi bisa kita dilihat dari aspek pendidikan, kita bisa
melihat bahwa materi pelajaran untuk anak usia Sekolah Dasar semakin sulit
sehingga keadaan siswa menjadi labil banyak siswa yang tidak percaya diri
dengan kemampuannya untuk menyelesaikan ujian baik kenaikan kelas ataupun ujian
nasional karena materi pelajaran yang menyulitkan siswa sehingga membuat mereka
tidak percaya diri dengan kemampuan dasar yang dimiliki. Dengan rasa percaya
diri yang rendah ini tentunya motivasi siswa untuk belajar pun menjadi menurun
karena dipenuhi rasa takut dan was- was sehingga belajarpun semata- mata hanya
untuk mengejar target, yaitu nilai. Dengan nilai yang tinggi menjadi tolak ukur
tunggal keberhasilan siswa. Namun dari sudut pandang yang berbeda lagi, les
untuk anak SD ini hanya sebagai belajar tambahan biasa agar pengetahuan anak
bertambah atau sekedar mengisi waktu luang daripada bermain lebih baik belajar
karena di tempat les pembelajaran lebih menarik dari sekolah. Untuk menanggapi
argumen tersebut kita bisa lihat fenomena sekarang bahwa anak mengikuti les
ketika ujian sekolah akan tiba baik kenaikan kelas maupun ujian kelulusan dan
target yang ingin dicapai dalam mengikuti les agar mendapatkan nilai tinggi
sehingga bisa naik kelas ataupun lulus ujian sekolah. Untuk itu anak mengikuti
les tidak hanya untuk tambahan belajar tapi lebih banyak untuk mengejar target
bisa naik kelas atau lulus sekolah dengan nilai yang tinggi sehingga bisa masuk
sekolah menengah yang favorit.
Fenomena
tersebut hanya salah satu contoh yang menjadikan kita berfikir lagi bagaimana
sistem pendidikan di Indonesia kenapa tujuan dalam pendidikan belum tercapai
hingga saat ini, tujuan pendidikan yang menjadikan generasi muda yang cerdas,
berpengetahuan, berkepribadian, berakhlak mulia, dll akankah selamanya hanya
menjadi PR untuk guru- guru disepanjang jaman? Bila kita kaji kurikulum SD saat
ini terdapat banyak kegagalan yang telah dirumusan dari tujuan semula, apakah
ini mal praktek dari guru yang mengajar di kelas atau dari siswa di Indonesia
sendiri yang memang memiliki potensi IQ rendah. Namun hukum alam selalu
menunjukkan bahwa dimana pun di muka bumi ini, yang memiliki potensi akademik
tinggi (IQ di atas 120) tidak lebih dari 10% penduduk dan sisanya memiliki
kecerdasan bukan pada dimensi akademik, seperti musisi, artis, dll. Namun yang
terjadi di Indonesia sisem pendidikan yang ada lebih mendukung potensi akademik
atau 10% penduduk saja sehingga output dari pendidikan Indonesia pun
kualitasnya masih rendah, mengkaji lebih dalam lagi dari sistem pendidikan ada
kurikulum sebagai acuan tingkat pendidikan (Sekolah Dasar) untuk melakukan
proses pembelajaran, di dalam kenyataan lapangan yang ada siswa dinyatakan
seorang bodoh jika tidak bisa mengerjakan soal matematika atau pelajaran
lainnya pada aspek kognitif padahal siswa tersebut sebenarnya seorang anak
cerdas di dalam bidang musik namun karena pada kurikulum sekolah dasar tidak menyediakan
wadah untuk bakat musik/ yang lainnya lebih mendalam lagi maka yang terjadi dia
tidak dapat mengembangkan bakatnya dan menjadi seorang bodoh. Padahal kemampuan
anak berbeda- beda dan setiap kemampuan anak mampu dan berguna untuk kemajuan
negara tapi dari negara sendiri sedimikian rupa menerapkan sistem pendidikannya
dan menyusun kurikulum yang malah bertolak belakang dengan tingkat perkembangan
peserta didiknya dan menganggap dunia pendidikan sebagai “momok” bukan tempat
dan lahan yang menyenangkan, karena bagi kehidupan anak usia SD yang lebih menyenangkan
adalah bermain.
Dengan
adanya UN saja kita dapat mengetahui betapa nilai adalah nomor satu dari tujuan
pendidikan, karena lulus tidaknya siswa dalam belajar 6 tahun juga ditentukan
dari nilai UN. Apakah ini yang nantinya akan menambah kualitas output kita?
Atau apakah akan semakin memberatkan siswa SD juga beban bagi guru SD?
Dikaji
dari alokasi waktu mata pelajaran saja, pada kurikulum SD untuk mata pelajaran
seperti IPA, matematika, dan bahasa menempati urutan tertinggi, tampak sekali
yang diutamakan dan tujuan dari kurikulum untuk mencerdaskan kognitif siswa
saja tidak untuk membentuk siswa yang terampil pada bidangnya masing- masing,
belajar di sekolah hanya mengejar nilai tertinggi pada bidang itu agar di cap
sebagai anak pintar.
Kurikulum
yang disusun hingga sedimikian rupa sulitnya, mata pelajaran yang ada
sebenarnya hanya mampu diikuti oleh 10% siswa SD yang akademik tinggi saja dan
sisanya yang memiliki kemampuan non akademis harus berlari ngos- ngosan
mengikuti aturan main yang ada sehingga yang tidak mampu mengikuti tersebut
yang notabene 90% dari seluruh penduduk di Indonesia harus memaksakan
kemampuannya dan yang tidak kuat akhirnya putus sekolah bahkan bisa stress.
Karena
menganggap pendidikan beserta isinya pelajaran- pelajaran yang guru berikan di
SD itu sulit maka siswa mengalami suatu krisis percaya diri, padahal di usia
anak SD rasa percaya diri harus dikembangkan agar anak memiliki motivasi dalam
melakukan kegiatan, jika anak sudah tidak ada motivasi dalam belajarnya bahkan
tidak suka belajar maka yang ada segala sesuatu yang mereka lakukan adalah
keterpaksaan dan dengan keterpaksaan hasil yang diperoleh generasi masa depan
kita ini tidak maksimal. Memang anak usia SD tampak pintar juara 1 olimpiade
matematika tingkat nasional namun untuk tingkat selanjutnya akan mengalami
penurunan karena siswa SD untuk pelajaran matematika seharusnya hanya untuk
pengenalan saja belum terlalu kompleks namun untuk alih- alih menyandang gelar
juara dipaksakan sekali anak SD harus menguasai matematika dan hasilnya pun nol
besar, belum tentu anak yang pandai ini berkarakter baik, bersikap sopan dan
tidak korupsi ketika beranjak dewasa.
Oleh
karena itu, sistem pendidikan kita yang telah melenceng harus segera di
luruskan, dengan hal itu kurikulum yang ada bisa tepat guna pada sasaran, yaitu
siswa. Sehingga tidak hanya menyalahkan guru saja yang dianggap mal praktek
dalam mengajar karena dalam kenyataan guru juga berusaha sebaik mungkin
mendidik siswanya,. Karena sistem yang ada itu objeknya hanya siswa, dan guru hanya
sebagai media jadi kalau sudah tidak sesuai dengan karakteristik/ dasar siswa
sebaiknya segera dibenahi karena kalau tetap saja diterapkan meskipun
menggunakan berbagai perubahan kurikulum hasilnya akan tidak jauh beda dengan
kurikulum sebelumnya. Kalau kelamaan diterapkan akan terjadi akumulasi
kegagalan kurikulum yang tidak lain imbasnya pada output nantinya.
Lila Argawati Septiarum, 2009 (dimuat di majalah Dikpora DIY "CANDRA" edisi 4 Thn XLII)
Lila Argawati Septiarum, 2009 (dimuat di majalah Dikpora DIY "CANDRA" edisi 4 Thn XLII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar