Selasa, 20 Mei 2014

Antara “mental” Buruh dan Sistem Pendidikan di Indonesia


“Dino, duduk rapi dengarkan Bu Guru jangan jalan-jalan dan bermain di dalam kelas!” Kata- kata ini sudah tidak asing lagi terdengar di dalam kelas dalam suatu kegiatan belajar mengajar bahkan sejak duduk di sekolah dasar. Maksud dan tujuan guru memang baik dan tidak ada salahnya meminta siswanya mendengarkan dan mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung tanpa mengganggu teman yang lain dengan satu harapan anak didiknya kelak jadi anak pintar dan sukses. Namun seiring waktu berjalan, pola pikir anak semakin berkembang karena pengaruh berbagai hal yang tentu lebih banyak. Kalau orang jaman dahulu hanya terpengaruh oleh orang tua saja sehingga “tunduk” pada orang tua dan tidak sering melakukan pelanggaran atau perilaku menentang yang lain, berbeda dengan anak sekarang yang semakin maju jaman semakin banyak yang mempengaruhi pola pikirnya ada dampak positif dan negatif yang banyak mereka peroleh tergantung bagaimana orang tua dapat mengarahkan. Dari
bergesernya pola pikir tersebut guru dalam mengajar masih menggunakan metode yang lama/ tradisional. Memang sangat ampuh metode tradisional itu untuk membuat suasana kondusif, namun bagaimana dampaknya? Dampak positif untuk jangka waktu pendek yaitu kelas menjadi kondusif, namun untuk dampak negatifnya akan terasa dalam jangka waktu panjang setelah anak dewasa menjadi terbiasa untuk melakukan sesuatu atas perintah atasan (ketika masih belajar : guru), menjadi seorang yang pasif/ tidak kreatif dan berorientasi menjadi pekerja bukan pencipta lapangan kerja. Bahkan dampak itu banyak menjadikan generasi muda yang malas dan mudah putus asa. Generasi muda Indonesia lebih berminat menjadi pekerja baik di sektor swasta mulai dari buruh biasa hingga buruh perusahaan ternama maupun pekerja di pemerintah sehingga dapat kita lihat semakin bertambahnya peminat pendaftaran CPNS tiap tahunnya karena memang mental yang dibentuk sejak dini adalah seorang pekerja (buruh) bukan pencipta lapangan kerja. Bahkan bangsa Indonesia sendiri menyatakan kekurangan pengusaha, namun kembali ke mental warganya yang malas dan mudah putus asa, belum juga mendirikan usaha sudah banyak mengeluh dan akhirnya memilih menjadi pekerja yang cepat menghasilkan uang bahkan ketika uang yang diperoleh masih kurang mereka berdemo habis-habisan dengan lantangnya merasa paling benar.
Selain dari dampak siswa yang pasif, belajar di dalam kelas diantara kokohnya dinding tembok menjauhkan siswa dari alam, tidak harus selalu belajar di luar ruangan karena tidak sesuai kurikulum namun hendaknya anak sesekali dalam seminggu misalnya belajar di luar kelas sehingga ada keterkaitan juga antara pendidikan dengan alam tidak justru menjauhkan anak dengan alam, sehingga ketika sudah dewasa anak mampu menjaganya karena sudah terbiasa hidup dengan alam bahkan untuk pekerjaan pun mereka mau menyatu dengn alam bukan lebih memilih bekerja di dalam ruangan yang dibatasi kokohnya dinding bangunan seperti ketika mereka belajar dahulu. Jadi, mental generasi muda yang terbentuk sekarang sudah dibawanya sejak masih kecil. Lalu apakah ini kesalahan guru? Tentu saja tidak hanya guru karena guru hanya menjalankan sisem pendidikan yang mengharuskan siswa mengembangkan kognitifnya sejak duduk di sekolah dasar sehingga sebagai guru hanya bisa mengarahkan anak didiknya supaya maju dan tidak ketinggalan. Namun apakah guru hanya berhenti disitu membiarkan anak didiknya bermental buruh? Tentu saja tidak, guru dapat mengubah mulai dari metode yang ia gunakan dalam mengajar, dimana anak didik tidak melulu duduk manis di kelas dan guru berceramah di depan. Meja dan kursi bisa disisihkan kemudian anak berdiri, guru menyampaikan materi pelajaran dengan permainan. Kemudian sesekali anak diajak belajar di luar ruangan, dibawa ke perpus atau keliling sekolah dan dapat menggunakan sudut-sudut sekolah yang lain untuk anak belajar. Belajar di luar kelaspun tidak harus pada pelajaran IPA atau Bahasa Indonesia namun pada mata pelajaran yang sering jadi momok yaitu matematika dapat dilakukan di luar kelas, misalnya anak diajak untuk mengumpulkan daun atau kelereng untuk belajar berhitung. Dengan sedikit variasi di dalam kelas saja anak sudah mulai menampakkan keaktifannya sehingga dapat mengolah dan menciptakan kreatifitas yang sebenarnya itu sangat dibutuhkan dalam hidupnya kelak.

 Lila Argawati Septiarum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar