Selasa, 16 September 2014

Cerita Tentang Seorang Anak Preman



Pagi itu seperti biasa saya menjalankan tugas mengajar, ketika pelajaran dimulai seorang murid saya yang tadi pagi menyapa dan menjabat tangan saya tiba-tiba tidak ada, tidak begitu lama seorang bapak paruh baya bertubuh besar rambutnya gondrong brewokan dan bagian tubuh yang terlihat penuh tato mengetuk pintu bersama anak lelakinya yang sedang menangis. Ternyata anaknya pulang ke rumah karena diejek temannya kalau bapaknya tatoan. Si Bapak tidak terima lalu mencari anak tersebut sambil marah-marah di kelas yang harusnya sudah dimulai pelajaran. Saya ingin mencari pertolongan tapi lingkungan sekolah sudah dalam keadaan sepi karena pelajaran sudah dimulai. Bapak itu juga mengancam murid saya yang membuat anaknya pulang ke rumah menangis. Seluruh murid saya tampak ketakutan dan shock. Hal ini tidak bisa
dibiarkan dan terulang lagi. Saya mencoba meredam amarah bapak berkelakuan “preman” tersebut hingga akhirnya beliau pergi dengan senyum setelah saya mencoba bicara baik-baik. 




Jangan sampai hal seperti ini jadi masalah yang berkepanjangan apalagi sampai melibatkan masing-masing orang tua karena hal sepele saling ejek antar teman bagi anak SD suatu kenakalan yang biasa terlebih lagi itu memang kenyataan bahwa bapak itu memang tatoan. Disini sebenarnya bukan anaknya yang bermasalah tapi justru lebih pada orang tua, kalau orang tua yang baik bukan semakin memperbesar masalah tapi bisa menyelesaikan dengan anaknya saja tidak sampai sekolah tempat untuk belajar.
 Kebetulan anaknya bapak yang tatoan ini satu-satunya murid saya yang tinggal kelas, tapi dia bukan anak yang cengeng seperti pagi itu. Meskipun seluruh guru di sekolah tidak berani memutuskan muridnya untuk tinggal kelas karena tuntutan kurikulum 2013 tapi saya dengan keyakinan teguh dan rasa tanggung jawab dengan pertimbangan matang juga akhirnya membuat keputusan ada satu anak murid yang tinggal kelas. Anak yang tinggal kelas ini karena ada beberapa faktor, diantaranya : jarang berangkat sekolah dan belum bisa baca tulis karena di rumah juga tidak ada bimbingan dari orang tua. Anak ini kalau dengan saya penurut sekali tapi banyak murid lain dan guru yang bilang kalau dia nakal. Ketika saya putuskan anak ini untuk tinggal kelas bapaknya tidak terima dan langsung meneror dan mengancam bapak kepala sekolah karena beliau tidak kenal saya bahkan belum pernah bertemu saya sebelumnya baru pertama kali di pagi itu dan saya sejak itu saya hanya bisa bergumam “selama ini saya telah berhadapan dengan seorang preman”. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar